Rabu, 02 Desember 2015

COGNITIVE ERGONOMIC

IMPLEMENTASI COGNITIVE ERGONOMI MENGGUNAKAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA
Oleh: Bagas Atmaja Prayitna
PENDAHULUAN
ABSTRAK

Sebuah perancangan interior diwujudkan untuk memecahkan masalah manusia berkaitan penampungan aktivitas dalam ruang, guna tercapainya kenyamanan keamanan, efektifitas dan peningkatan produktivitas yang sesuai dengan karakter manusia dan budayanya. Manusia adalah titik tolak dalam sebuah perancangan interior, manusia merupakan tokoh utamanya, sehingga harus mendapatkan perhatian khusus, kepadanya segala sesuatu yang berhubungan dengan perancangan dikonfirmasikan untuk di aktualisasikan pada sebuah perencanaan ruang. Hal ini disebabkan karena manusialah yang akan mempergunakan dan beraktivitas di ruang tersebut. Segala kegiatan atau aktivitas manusia tersebut beragam sifatnya sesuai dengan waktu dan tempat yang juga dibatasi oleh norma dan cita-rasa serta posisi dan peranan. Keunikan merupakan karakteristik utama dari setiap sistem proyek. Oleh karena itu hampir di layak untuk analis proyek untuk memanfaatkan data dari proyek-proyek masa lalu sebagai referensi untuk perencanaan proyek berikutnya dan penjadwalan. Sebagian besar analis proyek kemudian akan tergantung pada intuisi, firasat dan pengalaman untuk mengembangkan model kuantitatif untuk penjadwalan proyek dan analisis yang menurut studi masa lalu, adalah rentan terhadap kesalahan sistematis.

Kata kunci: Manajemen proyek, Cognitive Ergonomic, Teknologi Tepat Guna
ABSTRACT

An interior design is realized to solve human problems related to shelter activities in space, in order to achieve the comfort of safety, effectiveness and improvement of productivity in accordance with human character and culture. Man is a starting point in an interior design, humans are the main character, and should receive special attention, to her everything related to the design confirmed for at actualised in a space planning. This is due because it is people who will use and move in that space. Any activity or human activities are diverse in nature according to time and place that is also constrained by the norms and flavor as well as the position and role. Uniqueness is the main characteristic of any system project. Therefore almost feasible for the project analyst to use data from past projects as a reference for subsequent project planning and scheduling. Most analysts project will then depend on intuition, hunches and experience to develop quantitative models for project scheduling and analysis according to past studies, is prone to systematic errors.

Keywords: Project Management, Cognitive Ergonomics, Appropriate Technology
 
ISI PERMASALAHAN

Pada tahun 1970, kegiatan yang berkaitan dengan masalah ergonomi semakin meningkat ditandai dengan adanya ceramah, kursus, seminar dan penelitian-penelitian. Penelitian tentang Pacul di perdengarkan di forum internasional di Jepang, penelitian yang berkaitan dengan manusia dan lingkungan. Berikutnya penggarapan di sektor industri kecil mulai digalakan, seperti industri pembuat genteng di pejaten Tabanan Bali. Pada Tahun 1973 makalah penelitian disampaikan melalui forum ilmiah seperti seminar gabungan IAIFI-Puskes ABRI, konperensi Nasional Anatomi ke-3, dan 7th Asian Conference on Occupational Helth di Jakarta. Kebijaksanaan umum akan menyarankan bahwa untuk meningkatkan kinerja penilaian manusia , para ahli dimanfaatkan. Metode lain untuk meningkatkan kinerja adalah dengan melakukan latihan dalam grup . Namun, efektivitas intervensi tersebut kurang dari jelas. Ada yang berpendapat bahwa dalam beberapa kesempatan, seseorang dianggap ahli untuk tugas ini kognitif tertentu tidak benar ahli . Penelitian lain menunjukkan bahwa para ahli bahkan nyata tidak kebal terhadap bias menghakimi. Penyebaran konsep dan prinsip ergonomi dimulai pada tahun ini juga, sehingga sampai dengan tahun 1986 pada TVRI Sto. Denpasar tidak kuarang dari 100 topik ergonomi telah disiarkan. Pada tahun 1978 terbit buku ”Pembangunan Bali sampai tahun 2000” di mana di dalam buku tersebut dengan jelas disebutkan ergonomi sebgai salah satu faktor yang sangat penting untuk diperhatikan demi berhasilnya pembangunan untuk daerah Bali. Pada tahun ini juga telah dikukuhkan Guru Besar Ilmu Faal KF Unud yaitu I B A Manuaba, yang pada pidato pengukuhan Guru Besar menekankan penting prinsip ergonomi sebagai bagian integral dari pembangunan dan mutlak diperlukan dalam perencanaan. Dengan pengukuhan I B A Manuaba ini, menjadi tokoh dan akan penguatan perkembangan ergonomi di Bali, Indonesia, Asia dan Dunia.



TEORI PERMASALAHAN

Metodologi manajemen proyek menjadi lebih dan lebih populer untuk digunakan oleh berbagai organisasi untuk memberikan tujuan strategis seperti : manajemen perubahan , pengembangan produk , penelitian dan pengembangan , dan konstruksi . Salah satu faktor kunci attribut mampu keberhasilan proyek adalah efektivitas perencanaan dan persiapan proyek. Studi empiris yang luas dalam psikologi kognitif menunjukkan bahwa sementara manusia berniat untuk bersikap objektif dan rasional , rasionalitas yang dibatasi. Partisipasi artinya keterlibatan setiap individu atau tim, diharapkan tidak hanya fisik saja tetapi juga pikiran dan perasaan. Sehingga akan didapatkan suatu hasil pemecahan masalah yang optimal, sistem kerja dan produk yang manusiawi, berkualitas, kompetitif dan lestari sesuai dengan keinginan semua pihak. Pekerja dilibatkan secara aktif dalam memecahkan masalah serta mendiskusikan waktu, jenis, cara terbaik dalam penerapan, jumlah serta biaya intervensi yang dilaksanakan. Berikut akan disampaikan beberapa dari implentasi dari kognitive ergonomi dalam keseharian:



1. Standardize: Ketentuan yang telah standar secara formalyang biasanya berguna untuk mengurangi ketidakkonsistena misalnya: pewarnaan tertentu yang sudah terimaji dengan hal tertentu kabel warna merah untuk aliran listrik positif dan demikian pula untuk pipa- gas, minyak, air, putaran kran air dan lain-lainnya

2. Use Stereotype: adalah suatu kebiasaan di mana pengalaman menyebabkan terjadinya suatu gerak reflek terkondisi yang berjalan secara ot omatis tanpa disadari. Hampir mirip dengan standar, tetapi tidak secara formal. Standar yang baik akan menjadi stereotype (merah untuk stop, putaran kekanan untuk menampah kcepatan). Reaksi stereotype adalah suatu kebiasaan di mana pengalaman menyebabkan terjadinya suatu gerak refleks terkondisi yang berjalan secara otomatis tanpa disadari. Reaksi stereotype sangat dipengaruhi oleh tradisi budaya, oleh karenanya perlu adanya konvensi Nasional untuk mengatur. Pada umumnya putaran searah jarum jam menunjukan pembesaran. Konsekwensi tidak mempergunakan stereotype; waktu menjawab lebih lama, kesalahan lebih besar dan lebih sering, waktu latihan lebih lama, irama kelelahan lebih tinggi. (Grandjean, 1988) Contoh: Putaran mur ke kanan untuk mengencangkan, putaran kran air ke kanan untuk membuka; Menghidupkan radio, memutar telepon.
3. Link actions with perceptions: apa yang dilaksanakan/dilakukan sesuai dengan apa yang diharapkan. Rotasi searah jarum jam secara insting menunjuk adanya peningkatan, penunjuk juga harus menunjukkan peningkatan.
1. Jarum penunjuk tekanan ban, semakin banyak tekanan ban jarum akan bergerak kekanan dan sebaliknya,
2. Jarum penunjuk gas yang dipergunakan untuk masak,
3. Pedal gas kendaraan bermotor, untuk perseneling gigi mobil atomatis: R = reserve,   P untuk parkir. ”control-P” untuk mencetak kertas.
4. Simplify presentation of information: menggunakan konsep yang paling sederhana dengan pengertian tunggal dan pasti dan sesuai dengan kebutuhan: penggunaan foto, icon, tanda, lebih bagus dari penggunaan kata-kata. Tanda-tanda dalam lalu lintas: penunjuk kecepatan kendaraan bermotor; penunjuk rem tangan – lampu menyala merah; lampu rem belakang kendaraan.
5. Present information at the appropriate level of detail: banyak opsi atau pilihan yang ditampilkan dapat meningkatkan atau malah menurunkan performen, oleh karenanya perlu diadakan pilihan yang beanar-benar tepat untuk maksud-maksud yang tepat: Penunjuk tempratur mesin pada kendaraan-pada level bahaya berwarna merah dan aman berwarna biru; penunjuk bensin; penunjuk perseneling kendaraan bermotor.
6. Present clear images: tiga hal yang harus diperhatikan: 1) Pesannya mudah dilihat: ukuran, tempat harus sesuai dengan jarak darimana pesan akan dilihat. Kontras dengan latar belakang; 2)Pesan harus dapat dibedakan dengan keadaan sekeliling.(lampu pemadam kebakaran kelipnya harus berbeda dengan kelip lampu lainnya yang ada); 3) Pesan mudah di interpretasikan, karakter yang satu dengan yang lain harus beda. (1I, B8 dan QO; 062. (361) 228-872). Dapat dimengerti dengan mudah dan cepat, gampang dilihat: Tanda-tanda dalam lalu lintas; tanda bahaya-sirena; kentungan (kul-kul); lampu sirena polisi, Pemadam kebakaran; Warna baju tim Penyelamat.
7. Use redudancies: karena manusia mempunyai batasan, sangat penting untuk memperikan infomasi dengan lebih dari satu cara: Tanda bahaya-dengan lampu menyala merah dan berkelip-kelip, tanda larangan berenang dengan bendera yang berkibar dan berwarna, tanda pembatas tengah-tengah jalan pada jalan raya-berwana putih dan dapat dirasakan oleh pengendara, Polisi menggunakan lampu berkilip, sirine dan perintah, Tanda Stop di perempatan jalan: Warna merah, silang dan tulisan ”STOP”, Kode pos dan alamat rumah.
8. Use paterns: mata manusia menangkap pola dengan baik. Informasi yang menggunakan pola/pattern lebih mudah dimengerti, lebih cepat dan lebih akurat dari yang lainnya. Gambar lebih mudah diinterpretasikan dari pada anggka-angk: Bar chart untuk membandingkan jumlah, Line chart untuk memperlihatkan trend, Penggunaan pola-pola yang sama pada panel kontrol untuk hal yang berhubungan dengan penyelamatan pada mesin, Tanda lalu lintas larangan-warna merah, perintah-warna biru; penggunaan warna merah yang berarti: error, gagal, stop, membahayakan, dengan adanya flashing berarti bahaya semakin tinggi.
9. Provide variable stimuli: manusia sudah terbiasa dengan hal-hal umum terjadi oleh karenanya perlu ada stimulus baru atau lain dari yang umum  untuk menarik perhatian. Lampu yang berkelip lebih mudah ditangkap dari yang tidak berkelip: Mobil pemadam kebakaran: lampu berkelip dengan warna merah, sirena meraung dengan pola yang berbeda-beda, suara orang memerintah; tanda kebakaran dalam gedung: ada sirena berbunyi, lampu merah berkelip, ada suara peringatan-peringatan.
 
FAKTA PERMASALAHAN
Penerapan ergonomi di segala sektor selalu mengikuti perkembangan jaman, ketika jaman globalisasi, maka partisipasi pemakai produk ergonomi, yang dalam hal ini biasanya tenaga kerja, di dalam setiap keputusan mutlak harus didengarkan. Pendekatan semacam ini dikenal dengan sebutan pendekatan ergonomi partisipasi, pendekatan ini akan lebih berhasil jika dilakukan dengan cara bersistem (systemic), menyeluruh (holistic), interdisipliner (interdisciplinary). ). Sampai dengan tahun 1978, hasil-hasil penelitian ergonomi terus diinformasikan di tingkat nasional maupun internasional, seperti pertemuan-pertemuan ilmiah Man and His Environment tahun 1974, Kongres Ikatan Hiperkes Indonesia ke-2 di Surabaya tahun 1975,  kongres ke-3 IAIFI di semarang tahun 1976, Simposium Efisiensi Jam Kerja dan Waktu Kerja di Bali tahun 1976, dan juga banyak pertemuan lainnya. Dalam suatu kesimpulan makalah yang disampaikan dalam seminar Nasional Ergonomi di Surabaya tahun 1999, oleh pakar ergonomi Manuaba, pendekatan dalam ergonomi yang mengandung unsur: bersistem (systemic), menyeluruh (holistic), interdisipliner (interdisciplinary) serta partisipasi dikemas dalam suatu bentuk yang nyata. Pada tahun ini juga pada suatu pertemuan International antara pengusaha, akademisi dan pemerintah di Manila konsep ini telah diterima secara aklamasi sebagai suatu konsep dalam ergonomi untuk melengkapi konsep-konsep yang telah ada sebelumnya.
DISKUSI
Teknologi Tepat Guna (TTG) terdiri dari kata Teknologi dan Tepat Guna. Teknologi diartikan sebagai segala usaha, cara, teknik, alat atau hasil budi daya manusia pada umumnya untuk memeperoleh cara dan hasil kerja yang lebih berhasil dan berdaya guna. Tepat Guna artinya adalah tepat dan berguna dilihat dari segala aspek kehidupan. Sehingga TTG adalah hasil budi daya manusia yang tepat dan berguna dilihat dari segala aspek kehidupan (Manuaba, 1983). Agar hasil budi daya manusia mampu tepat dan berguna dilihat dari segala aspek kehidupan, maka harus dianalisis dari aspek-aspek:  Secara teknik memang lebih efisien di dalam pemakaian dan kemungkinan perawatannaya; Secara ekonomis memang menguntungkan;Dari segi kesehatan/ergonomi dapat dipertanggungjawabkan;Dapat diterima dan ditolerir dari sosio-budaya;Tidak merusak lingkungan, danHemat energi.
Pada tahun 1977, ketika tokoh ergonomi Prof. Adnyana Manuaba bertugas di ILO Geneve, pendekatan Tekonologi Tepat Guna telah mulai di tumbuh kembangkan (Manuaba, 2004) dan pengungkapan dalam suatu seminar ”The Phillippine PIAC Seminar” lebih mengukuhkan istilah Teknologi Tepat Guna dalam rangka memilih dan alih teknologi (Manuaba, 1977). Di era tahun 80 GBHN telah memuat tentang Teknologi Tepat Guna yang antara lain dirumuskan dengan ”Di dalam pemanfaatan ilmu dan teknologi, hendaknya berorientasi pada Teknologi Tepat Guna, lebih bersifat padat karya, tidak merusak lingkungan hidup dan hemat akan penggunaan sumber energi (Manuaba, 1983). Pada Tahun 1980 Balai Higene Perusahan, Kesehatan dan Keselamatan Kerja Bali, mengadakan Lokakarya dengan tema Integrasi Ergonomi/Hiperkes dalam Pembangunan pada saat itu telah diungkapkan dalam rangka pemilihan teknologi harus dikaji secara Teknologi tepat Guna yang terdiri dari aspek-aspek: Secara teknik memang lebih efisien di dalam pemakaian dan kemungkinan perawatannaya; Dilihat dari aspek ekonomis memang menguntungkan;Dari segi kesehatan/ergonomi dapat dipertanggungjawabkan;Dapat diterima dan ditolerir dari sosio-budaya, dalam hal ini tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya yang ada dan tidak menyebabkan problem sosial; Di samping itu teknologi baru tersebut jangan sampai merusak lingkungan hidup dan memboroskan sumber alam.
Pada saat ini TTG hanya diperkenalkan dengan empat aspek sedangkan dua aspek lain sebagai persyaratan pelengkap saja. Demikian pula pada tahun 1982 diadakan kursus ”Orientasi Ergonomi, Hiperkes dan Keselamatan Kerja bagi Konsultan Sektor Bangunan”, Teknologi Tepat Guna diungkapkan dengan empat aspek dan dua tambahan yang lain.
Di dalam melaksanakan TTG tersebut agar berasil, berkelanjutan dan lestari harus pula dikaji dengan pendekatan holistik, sistemik dan interdisipliner. Pada akhir-akhir ini tiga komponen sebagai persyaratan pelaksanaan TTG agar berhasil, telah ditambahkan satu kata lagi yaitu partisipasi. TTG ini dikenal juga sebagai suatu pendekatan ergonomi holistik, yang aspek-aspeknya sama dengan kriteria Teknologi Tepat Guna dalam menangani suatu masalah atau dalam rangka alih dan pilih teknologi (Manuaba, 2003).
Penjelasan dari komponen pendekatan TTG atau ergonomi holistik tersebut adalah sebagai berikut; Secara teknis harus bisa dipertanggung-jawabkan, artinya bahwa teknik yang digunakan tidak bertentangan dengan hukum dan peraturan yang berlaku, sesuai dengan standard, bahan yang biasa dipakai, komponen yang biasa dipergunakan, metode pembuatan, masukan para spesialis, mudah dirawat,  mudah didaur ulang, interface dengan lingkungan dan siklus hidup yang optimal. Secara ekonomis harus dikaji melalui pendekatan holistik, sehingga keputusan akhir sesuai dengan kebutuhan dan prioritas yang ada. Faktor yang diperhitungkan harus ada kaitannya dengan pasar, finansial, pengeluaran, waktu, keuntungan bagi stakeholder, kompetitis, besarnya atau tipe pasar, trend masa depan, kebijakan pelayanan, dan perhitungan akan beban dan penyimpangan. Secara ergonomis prinsip-prinsipnya harus bisa bulit-in masuk di dalam proses desain atau perencanaan, seperti memenuhi kebutuhan pengguna dan bukan pengguna, profil, prilaku, kenyamanan, kemudahan, tuntutan fisik dan mental, intruksi, umpan balik, kepuasan pengguna, pemeliharaan dan keamanan produk, produk dan pengguna serasi.Secara sosiokultural teknologi yang diterapkan harus dapat meliputi norma, nilai, kebiasaan, keinginan, impian, agama, kepercayaan, kebutuhan pemakai, taboo, estetika, fashion, gaya serta kualitas dari produk harus menjadi pertimbangan.Hemat akan energi berarti bahwa produk yang dihasilkan harus mempunyai kontribusi yang bermakna terhadap prinsip pembangunan yang berlanjut dan tidak justru menghancurkan keberadaannya.Tidak merusak lingkungan artinya agar produk tidak memberikan sesuatu kepada lingkungan, seperti kantong plastik, polusi ke segala sasaran seperti lahan, sungai, air dan udara, setiap keluaran dari produk agar tidak menyebabkan polusi sebagai polutan. Oleh karena itu, partisipasi dari semua pihak sangat menentukan dalam pemecahan masalah, serta pembentukan tim untuk mendukung pelaksanaannya sangat diperlukan. Jika dipandang dari sudut manajemen mutu terpadu tugas tim ini adalah membuat rencana (plan), mengerjakan atau melaksanakan (do), mengevaluasi (check), serta menindaklanjuti hasil dari evaluasi yang dilaksanakan (act). Sehingga jika dikombinasikan dengan bagan dari Louis (1993), tentang tugas tim memecahkan masalah dengan pendekatan ergonomi partisipasi, diharapkan masalah yang ada dapat dipecahkan dengan baik.

KESIMPULAN

Sebuah studi eksperimental telah dilakukan dalam konteks proyek untuk menyelidiki kinerja ahli dan non ahli dalam melakukan tugas kognitif estimasi durasi proyek. Hasil menunjukkan bahwa karena pengambil keputusan manusia terbatas kemampuan kognitif, hasil estimasi proyek rentan terhadap kesalahan sistematis (bias). Di berbagai scenario eksperimen, bagaimanapun, para ahli berperforma lebih baik dibandingkan para ahli non. Untuk efek penahan, bias dapat dikurangi dengan memiliki ahli yang bekerja di estimasi kelompok. Pengalaman diperoleh oleh para ahli dalam melakukan masa lalu, mirip tugas kognitif tampaknya berkontribusi pada penurunan dampak dari bias dalam estimasi. Kondisi yang sama diamati untuk estimasi kelompok. Diskusi kelompok sebelum estimasi proyek menjadi metode yang efektif untuk mengurangi efek penahan. Pengalaman dan kelompok diskusi tampaknya meningkatkan kemampuan kognitif dari sistem kognitif secara keseluruhan yang mengarah ke kinerja yang lebih baik. Untuk bias akurasi, namun, pengalaman dan diskusi kelompok tidak memberikan kontribusi yang signifikan dalam mengurangi kesalahan sistematis. Oleh karena itu untuk mengatasi bias yang akurasi, intervensi tertentu mungkin diperlukan. Ini termasuk pengembangan protokol tertentu, metode, atau alat untuk meningkatkan kemampuan keseluruhan dari kognitif sendi sistem. Dalam kognitif ergonomi/ psikologi prosedur ini disebut debiasing. Serangkaian tindak lanjut penelitian ini kemudian diminta untuk memberikan gambaran lengkap dari fenomena dan untuk mengembangkan intervensi tingkat sistem gabungan kognitif untuk meminimalkan kesalahan dalam melakukan estimasi proyek tugas.



SARAN
Harus lebih diperbaiki lagi untuk kedepannya. Dari tahun 1977, dalam ergonomi telah diperkenalkan konsep Teknologi Tetap Guna dalam memilih dan alih teknologi. Dalam perjalanan waktu konsep tersebut dalam penerapannya mendapatkan hambatan-hambatan, sehingga masih terdapat kecelakaan, penyakit akibat dari pekerjaan yang dilaksanakan. Oleh karenanya itu dipandang perlu untuk mengkaji lebih mendalam agar konsep tersebut dapat diterapkan dengan berhasil, berkesinambungan, aman, lestari dan dipertanggung-jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
Budnick, P dan Michael, R. 2001. What Is Cognitive Ergonomics.
MacLeod, Dan. C.P.E, 2006. Cognitive ergonomics. Access, 02-06-06
Manuaba, A. 2006. Materi Kuliah Cognitive ergonomics. Program Doktor. Program Pascasarjana Ilmu Kedokteran. Universitas Udayana.
Wood, G. D.,and Ellis, R. C. T., Risk Management Practices of Leading UK Cost Consultants, Engineering, Construction and Architectural Management, 10, 2003. 30.
Yelle, L. E., The Learning Curve: Historical Review and Comprehensive Survey, Decision Sciences, 10, 1979, pp. 302-328.
BIODATA PENULIS

  1. Nama Lengkap : Bagas Atmaja Prayitna
  2. Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 05 November 1996
  3. Jurusan : Teknik Industri
  4. Kampus : Universitas Mercu Buana Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar